Guru Keluhkan Beban Mengajar 24 jam Tatap Muka
Ketentuan
mengajar guru yang ditetapkan minimal 24 jam tatap muka justru mendorong
berkembangnya guru yang tidak profesional. Meskipun dengan tujuan untuk
mengatasi kekurangan dan kelebihan guru, kebijakan ini menyebabkan banyak guru
akan mengajar pada lebih dari satu satuan pendidikan.
Selain
menimbulkan sistem administrasi yang kacau, pembiayaan negara dan pembiayaan
pribadi guru juga membengkak. Guru menjadi tidak fokus pada pekerjaan
profesinya.
”Penerapan
penghitungan beban kerja guru berdasarkan Surat Keputusan Bersama 5 Menteri
yang hanya didasarkan pada kegiatan pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas
mereduksi makna guru profesional seperti yang diamanatkan dalam UU No 14/ 2005
tentang Guru dan Dosen,” kata Suparman, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Persatuan Guru Seluruh Indonesia di Jakarta, Senin (19/3).
Retno
Listiyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan,
guru menjadi tidak maksimal membimbing karena beban kerja (tatap muka) yang
banyak dan jumlah murid yang ratusan orang. ”Bagaimana mungkin siswa bermutu
tanpa bimbingan yang maksimal dari seorang guru,” kata Retno.
Sesuai
ketentuan dalam SKB 5 Menteri, guru yang kekurangan jam mengajar mengikuti
ketentuan minimal 6 jam mengajar di sekolah induk dan selebihnya di sekolah
lain. Dalam praktik di lapangan, para guru yang kurang mengajar mesti proaktif
mencari sekolah yang bersedia memberi tambahan jam mengajar.
Menurut
Retno, aturan baru soal guru ini juga diskriminatif. Sebab, SKB 5 Menteri ini
hanya menghargai guru yang dapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah dan
wakil kepala sekolah. Jabatan kepala sekolah dihargai 18 jam, sedangkan wakil
kepala sekolah dihargai 12 jam.
Adapun
guru yang memiliki tugas tambahan menjadi anggota staf, wali kelas, pembina
ekstra kurikuler, dan piket sama sekali tidak memperoleh penghargaan (dalam
bentuk jam). Mereka tetap memiliki kewajiban tatap muka minimal 24 jam.
Retno
mengatakan, seharusnya tugas tambahan ini dihargai, ekuivalen sebagai jam tatap
muka. Hal ini disebabkan tugas yang dijalankan adalah linier dengan fungsi
sekolah dan demi pengembangan peserta didik.
”Hal
ini merupakan bentuk diskriminasi dan penafsiran bahwa tugas tambahan tersebut
di atas dianggap mudah, sederhana, dan tidak merepotkan guru sehingga tidak
perlu dihargai dalam bentuk jam. Ini sebuah ketidakadilan,” ujar Retno.
Pertimbangkan kondisi
Sekretaris
Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan, penerapan
SKB 5 Menteri ini tidak bisa seketika dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi
di lapangan, termasuk juga kondisi tiap guru. Pemerintah daerah diminta cermat
dalam memutasi guru supaya tidak terjadi kisruh, tanpa mengabaikan hak-hak
guru.
Apalagi,
kondisi sekolah saat ini umumnya minim sarana perumahan guru. Dalam memutasi
guru, misalnya, soal jarak tempuh dan kompensasi juga harus diperhatikan agar
tidak merugikan guru yang dipindahkan ke sekolah lain.
SKB 5 Menteri (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Agama), yang diterbitkan 3 Oktober 2011, merupakan
kesepakatan mendukung pemantauan, evaluasi, kebijakan penataan, dan pemerataan
guru pegawai negeri sipil.
Posting Komentar untuk "Guru Keluhkan Beban Mengajar 24 jam Tatap Muka"